Top Ad unit 728 × 90

Import Beras Dibully - Padahal Ini Fakta Dibaliknya Yang Harus Kamu Ketahui !! Semua Demi Perut Rakyat Indonesia


RAKYAT SOSMED - Kebijakan pemerintah mengimpor produk pangan kerap mengundang kritik. Tak jarang, kritik tersebut berujung bully lewat media sosial.Di satu sisi impor dibutuhkan untuk menambah pasokan pangan yang belum bisa terpenuhi produksi dalam negeri, sebaliknya jika tak impor, maka permintaan pangan masyarakat tak terpenuhi.

Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita menjelaskan mengenai alasan mengapa Indonesia membutuhkan impor beras. Mulai dari stok beras sampai konsumsi semua dibahas secara rinci. Berikut ulasannya:

Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita menyatakan selalu berada di situasi yang serba salah ketika menghadapi kebutuhan dan pilihan impor.

"Yah bagaimana, kalau impor di-bully kalau nggak impor masyarakat kelaparan. Akhirnya 15 Januari 2018 kita rakor (rapat koordinasi) di Menteri Ekonomi dipimpin Pak Darmin, dihadiri Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Perdagangan saya, Dirut Bulog dan deputi dan dari pihak BUMN," kata Enggartiasto dalam acara diskusi di Gedung Bank Mega, Jalan Tendean, Jakarta, Kamis (13/9/2018).

Menurutnya impor, misalnya beras, dilakukan jika stok di gudang Bulog di bawah 1 juta ton dan kenaikan harga beras di atas 10%.

"Sekali lagi kalau kita tidak impor, maka situasi stok beras di Bulog di bawah 1 juta ton dan itu akan menempatkan Indonesia dalam situasi yang rawan," kata pria yang akrab disapa Enggar itu.

Enggar pun menjelaskan keputusan pemerintah mengimpor beras hingga 2 juta ton. Awalnya beras yang diimpor sebanyak 500.000 ton, beberapa bulan kemudian pemerintah mengimpor lagi 500.000 ton. Terakhir, setelah rapat koordinasi antar menteri, diputuskan lagi membuka kuota impor beras sebanyak 1 juta ton.

"Akhirnya kita memutuskan, di awal tahun kita impor 500.000 ton yang laksanakan atas rakor. Saya tulis surat ke Bulog untuk melaksanakan hal itu, nggak ada keputusan yang saya ambil tanpa rakor," papar dia.



Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menerbitkan izin impor beras sebanyak 2 juta ton.

Proses dari izin tersebut dilakukan bertahap, pada skema awal pemerintah meminta izin impor beras sebanyak 500.000 ton kemudian ditambah lagi 500.000 ton baru kemudian pemerintah melalui Rapat Koordinasi menentukan lagi penambahan beras sebesar 1 juta ton.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, membeberkan alasan soal alasan mengapa Indonesia harus mengimpor beras. Ia menjelaskan kondisi yang sebenarnya dari stok beras di dalam negeri belum bisa memenuhi konsumsi.

"Ya yang pasti kita nggak bakal impor kalau nggak butuh. Apa kita mau mempertaruhkan urusan perut rakyat dengan kita membiarkan mengenai kelangkaan," kata dia kepada detikFinance dalam wawancara khusus di, Lantai 24 Menara Bank Mega, Kamis (13/9/2018).

Ia menjelaskan saat ini produksi beras lokal yang menjadi stok pemerintah terbatas. Jika barang terbatas maka siapapun tidak bisa mengendalikan harga.

"Ada supply dan demand, bagaimana kita bisa mengendalikan harga pada saat sisi suplainya itu terbatas dan pasar itu nggak bisa dibohongi. Kita harus impor," jelas dia.

Selain itu Enggar menjelaskan, ada alasan lain mengenai suplai produksi beras yang saat ini terbatas. Yaitu karena alih fungsi lahan sawah yang saat ini semakin gencar dilakukan.

"Permasalahannya adalah, konversi lahan. Alih fungsi lahan dari pertanian menjadi lahan perkotaan itu jauh lebih cepat. Dibandingkan dengan mengganti lahan tani, untuk menciptakan lahan tani baru cepat penciptaan sebuah kota dan itu sudah terjadi sejak dulu," kata dia.

Beberapa proyek pembangunan kota seperti pembangunan pelabuhan, bandara sampai infrastruktur, turut menyumbang pengurangan lahan sawah di Indonesia.

"Dampaknya tampak dengan pembangunan infrastruktur, kita lihat juga di perkembangan di kawasan industri. Pembangunan fasilitas seperti, pelabuhan, airport itu berdampak pada alih fungsi lahan. Ambil contoh (Bandara) Kertajati itu sawah. Ini fakta yang ada yang menjadi persoalan," jelas dia.

Ia menjelaskan kesepakatan akan adanya impor beras dilakukan setelah adanya Rapat Koordinasi antar menteri.

"Keputusan yang diambil, pada waktu bulan Juli dan Agustus di kantor Wakil Presiden Jusuf Kala adalah, kalau stok Bulog di bawah 1 juta ton dan kenaikan harga beras di atas 10% maka kita harus impor," ujar dia.



Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menerbitkan izin impor beras sebanyak 2 juta ton.

Proses dari izin tersebut dilakukan bertahap, pada skema awal pemerintah meminta izin impor beras sebanyak 500.000 ton kemudian ditambah lagi 500.000 ton baru kemudian pemerintah melalui Rapat Koordinasi menentukan lagi penambahan beras sebesar 1 juta ton.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, membeberkan alasan soal alasan mengapa Indonesia harus mengimpor beras. Ia menjelaskan kondisi yang sebenarnya dari stok beras di dalam negeri belum bisa memenuhi konsumsi.

"Ya yang pasti kita nggak bakal impor kalau nggak butuh. Apa kita mau mempertaruhkan urusan perut rakyat dengan kita membiarkan mengenai kelangkaan," kata dia kepada detikFinance dalam wawancara khusus di, Lantai 24 Menara Bank Mega, Kamis (13/9/2018).

Ia menjelaskan saat ini produksi beras lokal yang menjadi stok pemerintah terbatas. Jika barang terbatas maka siapapun tidak bisa mengendalikan harga.

"Ada supply dan demand, bagaimana kita bisa mengendalikan harga pada saat sisi suplainya itu terbatas dan pasar itu nggak bisa dibohongi. Kita harus impor," jelas dia.

Selain itu Enggar menjelaskan, ada alasan lain mengenai suplai produksi beras yang saat ini terbatas. Yaitu karena alih fungsi lahan sawah yang saat ini semakin gencar dilakukan.

"Permasalahannya adalah, konversi lahan. Alih fungsi lahan dari pertanian menjadi lahan perkotaan itu jauh lebih cepat. Dibandingkan dengan mengganti lahan tani, untuk menciptakan lahan tani baru cepat penciptaan sebuah kota dan itu sudah terjadi sejak dulu," kata dia.

Beberapa proyek pembangunan kota seperti pembangunan pelabuhan, bandara sampai infrastruktur, turut menyumbang pengurangan lahan sawah di Indonesia.

"Dampaknya tampak dengan pembangunan infrastruktur, kita lihat juga di perkembangan di kawasan industri. Pembangunan fasilitas seperti, pelabuhan, airport itu berdampak pada alih fungsi lahan. Ambil contoh (Bandara) Kertajati itu sawah. Ini fakta yang ada yang menjadi persoalan," jelas dia.

Ia menjelaskan kesepakatan akan adanya impor beras dilakukan setelah adanya Rapat Koordinasi antar menteri.

"Keputusan yang diambil, pada waktu bulan Juli dan Agustus di kantor Wakil Presiden Jusuf Kala adalah, kalau stok Bulog di bawah 1 juta ton dan kenaikan harga beras di atas 10% maka kita harus impor," ujar dia.


Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyebut bahwa impor bukan lah barang haram apa lagi bila tujuannya untuk menjaga kestabilan harga dan daya beli masyarakat. Impor beras misalnya, juga bukan kali pertama dilakukan pemerintah.

Enggar memuji kondisi tahun politik 2014 silam di mana harga beras terpantau stabil.

Hal itu tak lepas dari ketegasan pemerintah di bawah pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kala itu yang berani mengambil keputusan impor beras 2,5 juta ton.

"Tahun 2013 -2014 Indonesia pernah impor beras sebesar 2,5 juta ton dan clear nggak ada gejolak," kata dia saat bertandang ke kantor detikcom, Jakarta, Kamis (13/9/2018).

Kemudian di beberapa tahun sebelumnya, ketika Menteri Perdagangan masih dijabat Thomas Lembong, Indonesia juga mengimpor 1,5 juta ton beras di tahun 2015-2016.

"Kemudian di tahun 2015- 2016 kita impor 1,5 juta ton. Kemudian memang dari impor dan produksi yang ada 2016 akhir 2017 awal menjelang akhir kita cukup. Tapi, di saat akhir memang ada kekurangan, ya (akhirnya) kita impor," kata dia.

Ia menjelaskan kesepakatan akan adanya impor beras dilakukan setelah adanya Rapat Koordinasi antar menteri.

"Keputusan yang diambil, pada waktu bulan Juli dan Agustus di kantor Wakil Presiden Jusuf Kala adalah, kalau stok Bulog di bawah 1 juta ton dan kenaikan harga beras di atas 10% maka kita harus impor," ujar dia.



Kerana itu, Enggar mengatakan, impor tak perlu menjadi kekhawatiran bagi masyarakat. Ia pun menepis anggapan bahwa keputusan impor beras dilakukan berdasarkan pesanan negara produsen beras dengan iming-iming imbalan.

Karena, proses pengadaan beras berlangsung dengan cara tender terbuka yang tak memungkinkan pihak pemerintah campur tangan untuk mengambil keuntungan secara finansial.

"Bagaimana saya mau mengutip (mengambil keuntungan dari impor beras), kalau proses tendernya itu lelang terbuka. Kala saya mengutip, itu sama saja dengan saya jalan kaki mengantarkan diri saya ke penjara," tandas Enggar.

Baca ini juga:
* Ditantang Tes Shalat dan Baca Al Quran, Sandiaga Langsung Menolak Sambil Sebut Nama Prabowo
* Pria Tua Ini Minta Jokowi Copot Sri Mulyani dari Jabatan Menteri Keuangan, Ini Alasannya

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita memutuskan bersama jajaran menteri lainnya untuk mengizinkan kuota impor beras dari beberapa negara tetangga.

Dari keputusan tersebut banyak terjadi penolakan dan kritikan. Namun, dari kondisi tersebut Enggar mengaku tidak bisa mengambil resiko bila kuota bahan pangan utama yaitu beras stoknya tidak aman.

"Urusan perut nomor satu, jangan sampai kita ambil risiko pada saat rakyat kelaparan. Ini hanya bagaimana kita mengamankan konsumsi utama dari rakyat. Ya kita harus impor," kata dia kepada detikFinance dalam wawancara khusus di, Lantai 24 Menara Bank Mega, Jakarta Selatan, Kamis (13/9/2018).

Impor seringkali dianggap jadi biang keladi penyebab anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Sehingga, cukup banyak desakan agar RI setop impor.

Bicara soal impor, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia tidak bisa menghentikan ekspor 100% dan hanya mengandalkan ketersediaan pasokan produk lokal saja.

Ia mengumpamakan Indonesia seperti Jakarta yang membutuhkan barang-barang dari daerah lain seperti Jawa Bara dan Jawa Tengah.

"Sama saja sekarang. Bisakah provinsi Jakarta menutup diri tidak mau mengambil komoditas dari daerah manapun? Nggak mungkin. Jakarta bisa hidup nggak, Jakarta nggak bisa lepas dari beras dari Jabar. Jakarta bisa hidup nggak tanpa Jawa Tengah? Nggak bisa hidup," papar Enggar di kantor detikcom, Jakarta Selatan, Kamis (13/9/2018).

Kondisi yang dialami Jakarta tersebut, kata Enggar, juga dialami Indonesia dalam skala yang lebih luas.

"Kalau kita lihat dari neracanya Jakarta dia ada impor dan dia ada ekspor. Demikian juga dalam dunia ini, jadi impor bukan suatu barang yang haram. Pada saat kita butuh ya kita impor, kita lebih dan kita bisa produksi. Bagian orang lain perlu ya kita ekspor," ujar dia.

Ia melanjutkan, dalam kerja sama dagang dengan berbagai negara, RI tidak melulu mengalam defisit. Dengan Amerika misalnya, RI mengalami surplus neraca perdagangan.

"Berdasarkan catatan dari Amerika, ada US$ 14 miliar. Kita dengan India, surplus kita US$ 10 miliar. Kita dengan Filipina kita surplus, dengan Pakistan surpus kita US$ 1 miliar. Kalau mereka bilang saya anti impor, ya kita nggak surplus. Ya kan? Ya saat itu saat mereka butuh mereka impor," ulas dia.

Meski demikian, ia tak menampik RI masih mengalami defisit neraca dagang dengan sejumlah negara seperti China. Namun kondisi tersebut merupakan hal yang wajar dalam hubungan dagang, tinggal bagaimana pemerintah bisa mengendalikannya.

"Kita dengan China kita masih defisit. Nah, inilah yang namanya perdagangan. Ada ekspor ada impor ada surplus ada defisit," papar dia.

Impor seringkali dianggap jadi biang keladi penyebab anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Sehingga, cukup banyak desakan agar RI setop impor.

Bicara soal impor, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia tidak bisa menghentikan ekspor 100% dan hanya mengandalkan ketersediaan pasokan produk lokal saja.

Ia mengumpamakan Indonesia seperti Jakarta yang membutuhkan barang-barang dari daerah lain seperti Jawa Bara dan Jawa Tengah.

"Sama saja sekarang. Bisakah provinsi Jakarta menutup diri tidak mau mengambil komoditas dari daerah manapun? Nggak mungkin. Jakarta bisa hidup nggak, Jakarta nggak bisa lepas dari beras dari Jabar. Jakarta bisa hidup nggak tanpa Jawa Tengah? Nggak bisa hidup," papar Enggar di kantor detikcom, Jakarta Selatan, Kamis (13/9/2018).

Kondisi yang dialami Jakarta tersebut, kata Enggar, juga dialami Indonesia dalam skala yang lebih luas.


"Kalau kita lihat dari neracanya Jakarta dia ada impor dan dia ada ekspor. Demikian juga dalam dunia ini, jadi impor bukan suatu barang yang haram. Pada saat kita butuh ya kita impor, kita lebih dan kita bisa produksi. Bagian orang lain perlu ya kita ekspor," ujar dia.

Ia melanjutkan, dalam kerja sama dagang dengan berbagai negara, RI tidak melulu mengalam defisit. Dengan Amerika misalnya, RI mengalami surplus neraca perdagangan.

"Berdasarkan catatan dari Amerika, ada US$ 14 miliar. Kita dengan India, surplus kita US$ 10 miliar. Kita dengan Filipina kita surplus, dengan Pakistan surpus kita US$ 1 miliar. Kalau mereka bilang saya anti impor, ya kita nggak surplus. Ya kan? Ya saat itu saat mereka butuh mereka impor," ulas dia.

Meski demikian, ia tak menampik RI masih mengalami defisit neraca dagang dengan sejumlah negara seperti China. Namun kondisi tersebut merupakan hal yang wajar dalam hubungan dagang, tinggal bagaimana pemerintah bisa mengendalikannya.

"Kita dengan China kita masih defisit. Nah, inilah yang namanya perdagangan. Ada ekspor ada impor ada surplus ada defisit," papar dia.


  • [message]
    • [👀 SUMBER BERITA Dan Judul Asli - Mari Kita Sama Sama Cross Check, Pada Dasarnya Situs Ini Hanyalah Mengambil Isi Tulisan Dari Link Dengan Judul Dibawah Ini - Terima Kasih]

Import Beras Dibully - Padahal Ini Fakta Dibaliknya Yang Harus Kamu Ketahui !! Semua Demi Perut Rakyat Indonesia Reviewed by Wakil Sosmed on September 15, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar:

All Rights Reserved by WASOS © 2014 - 2015
Powered By Blogger, Designed by MasalahTekno

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.