Top Ad unit 728 × 90

Netizen : Pasca Kasus Ahok dan Meliana, Kami Tidak Percaya Bahwa Hukum Indonesia Netral!


RAKYAT SOSMED - Kasus Ahok dan Meiliana menjadi sebuah noda hitam dalam tubuh hukum di Indonesia. Mengapa? Karena mereka diperlakukan tidak adil oleh hukum! Ahok dan Meiliana, dianggap melanggar hukum dan divonis 2 tahun dan 1,5 tahun.

Sedangkan orang-orang yang membakar vihara hanya divonis ringan, hanya 1,5 bulan! Bahkan Buni Yani pun tidak langsung ditangkap seperti Ahok. Meiliana pun harus menahan malu karena setelah vonis, ia diborgol. Memangnya dia berontak?

Rasa keadilan pun terusik.
Hukum di Indonesia sangatlah berat sebelah. Secara awam dan kasat mata, penulis melihat bagaimana orang-orang yang dianggap dan dilabel sebagai kaum minoritas, mendapatkan hukum yang lebih tajam.

Hukum tajam ke minoritas, tumpul ke mayoritas. Ini ada sebabnya. Apa sebabnya? Mari kita simak beberapa kemungkinannya.

Kemungkinan pertama, hakim ada di bawah tekanan massa mayoritas. Di dalam negara demokrasi ini, kita melihat ada sebuah ketimpangan dan cacat bawaan yang dimiliki oleh negara dengan sistem demokrasi ini.

Apa cacatnya? Begini. Cacatnya adalah demokrasi dipengaruhi oleh suara rakyat. Arus rakyat sangat besar.

Maka jika rakyat tidak terdidik, jangan harapkan bisa ada negara Demokrasi yang ideal di dunia ini. Kebanyakan dan mayoritas warga Indonesia tidak terdidik. Lebih tepatnya, mereka tidak mau terdidik. Mereka mau hidup dalam tempurung kura-kura yang benar-benar kedap dan gelap.

Mereka memelihara kebodohan itu, karena kebodohan mereka bisa diternak dan dijadikan alat untuk melakukan tindakan represi kepada orang-orang kaum yang dilabel minoritas. Minoritas. Ya. Masih sulit. Sangat sulit dan benar-benar miris.

Penulis benar-benar sedih dan prihatin melihat keadaan ini. Apakah hukum bisa diatur oleh mayoritas? Jika benar, di mana supremasi hukum di Indonesia? Bagaimana hukum ditegakkan di Indonesia?

Apakah hukum di Indonesia tergantung tekanan? Bagaimana dengan pihak-pihak yang terkait untuk penegakan hukum? Jangan ketar-ketir jika nanti suatu saat, lembaga-lembaga negara ini dibuatkan MOSI TIDAK PERCAYA.

Kita tinggal tunggu waktu, jika memang tidak ada perubahan dan itikad baik dari pihak pengadilan dan pihak-pihak hukum lainnya yang mengetahui dan tidak bergerak untuk hal ini.

Selama belum ada penjelasan dan tetap begini, penulis menganggap penegakan hukum di Indonesia masih tebang pilih dan di bawah tekanan massa. Segitu sajakah nyali lembaga hukum di Indonesia?

Kemungkinan kedua, hakim sudah terpapar radikalisme. Ini adalah kemungkinan yang pahit untuk diterima. Padahal kita tahu bahwa esensi hukum itu sangat tinggi di Indonesia.

Penegakan hukum seharusnya tidak bisa dipengaruhi oleh apapun, kecuali nilai-nilai yang terkandung dalam UU yang sudah disepakati bersama. Paham radikalisme itu adalah paham yang harus kita kurbankan untuk kepentingan banyak orang. Negara Indonesia adalah negara yang begitu beragam.

Maka di dalam keberagaman indonesia, sama sekali kita tidak boleh berikan ruang untuk radikalisme. Radikalisme akan memecah semua keberagaman dan menjadikan impian mereka nyata. Impian kaum radikalisme adalah keseragaman, bukan keberagaman. Toleransi dikoyak-koyak.

Hukum dibuat begitu tumpul, hanya karena orang-orang yang terpapar radikalisme. Semoga saja ketakutan penulis terhadap lembaga hukum yang sudah terpapar radikalisme, tidak benar.

Meski demikian, kita harus melihat, bahwa ada indikasi ke sana ketika hukum tidak berlaku adil, sama rata, sama rasa dan tidak memihak. Hukum tidak boleh seperti Anies, yang mengedepankan “KEBERPIHAKAN” kepada wong cilik.

Wong gedhe atau pun wong cilik sama di mata hukum! Radikalisme adalah sebuah virus yang sangat berbahaya. Radikalisme harus dihilangkan. Sudah waktunya lembaga-lembaga hukum harus melakukan bersih-bersih.

Turunkan pangkat mereka agar tidak menjadi penting. Jika perlu, rumahkan saja mereka, kunci rapat-rapat biarkan mereka dan keluarganya saja yang radikal. Jangan ajak-ajak, jangan main hakim seperti itu. Penulis merasa sangat prihatin.

Bayangkan, seorang ibu bernama Meiliana yang mengeluh karena suara speaker terlalu besar, bisa divonis 1,5 tahun dan langsung dibui, sedangkan para pembakar vihara, divonis hanya 1,5 bulan.

Bayangkan lagi, seorang pemimpin bernama Ahok yang tidak memiliki niat menista agama, divonis 2 tahun dan langsung dibui, sedangkan mereka yang membuat gaduh, tidak langsung dibui.

Inikah yang dinamakan keadilan?

Kami tidak percaya dengan penegakan hukum yang masih berpihak ini.

Begitulah unta-unta.

Untuk artikel tampan lainnya, bisa dilihat di sini: https://seword.com/author/mawengkang

Netizen : Pasca Kasus Ahok dan Meliana, Kami Tidak Percaya Bahwa Hukum Indonesia Netral! Reviewed by Wakil Sosmed on Agustus 25, 2018 Rating: 5

Tidak ada komentar:

All Rights Reserved by WASOS © 2014 - 2015
Powered By Blogger, Designed by MasalahTekno

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.